Di bidang kuliner, Madura nyaris sama dengan Bugis Makassar. Pemilik warung kuliner khas dua suku ini, sate, soto & coto, biasanya sudah pernah berangkat haji. Ini biasanya para juragan kuliner yang malang melintang sejak era 1990-an, bahkan era sebelumnya. Mereka dengan bangga memasang gelarnya di depan namanya dan dipampang di warungnya. "Warung Sate Haji....." maupun "Warung Coto Makassar Haji.....".
Ibadah haji adalah perkara spiritual, sedangkan gelar haji adalah sebuah prestise sosial.
Di sisi lain, di pedesaan maupun kota kecamatan, para haji juga punya toko kelontong agak besar. Mereka menjalankan bisnisnya dengan melibatkan jaringan pedagang kecil yang kulak kebutuhan secara tunai, kredit, maupun hutang. Roda bisnis berjalan dengan sistem gotong royong. Guyub rukun. Mereka bersaing dengan pemilik toko kelontong lain yang biasanya dimiliki oleh orang Tionghoa.
Jika ditelusuri lagi, para pedagang lokal ini mulai berkembang tahun 1970-an ketika ekonomi mulai stabil. Lebih ke belakang lagi, semua terbantu karena Bung Karno mengeluarkan peraturan tahun 1959 yang mengatur apabila pedagang asing yang berbisnis eceran (kebanyakan tionghoa) menyingkir dari desa dan harus hijrah ke kota kecamatan maupun kabupaten. Aturan ini ditaati hingga ketika ekonomi stabil di era 1970-an dan dasawarsa berikutnya, para pedagang lokal ini berkembang dengan kemauannya. Model pengembangan ekonomi mikro berbasis kemandirian dengan jaringan personal antar warga masyarakat yang ditunjang pola simbiosis mutualisme ini bertahan sebelum kemudian mulai dihancurkan pemodal besar.
Pertumbuhan pesat jaringan toko waralaba seperti Indomaret dan Alfamart yang dimenej modern dan tanpa ada payung hukum yang mengatur keberadaannya cukup membuat toko-toko lokal sesak bernafas. Banyak yang kukut, hanya segelintir yang bertahan, lalu menyusut perlahan. Efeo dominonya juga ada: pola ekonomi gotongroyong antar toko besar dengan pengecer juga mulai musnah.
Ini adalah ajang pertarungan bebas antara pegiat ekonomi mikro melawan raksasa ritel. Disebut tarung bebas karena tidak ada kontrol hukum melalui Perda yang mengatur keberadaan jaringan ritel ini. Di Surabaya, tahun 2014, kalau tidak salah sudah ada sekira 2000 toko waralaba dengan segala mereknya. Hanya tak sampai 20% yang punya izin. Sisanya masih ilegal. DPRD Kota Surabaya pernah mau merumuskan Raperda, tapi melempem sebelum digodog dan tak ada kabarnya hingga sekarang. Di kota lain, bagaimana? Sama saja. Saya belum tahu kota mana saja yang sudah mengatur regulasi persaingan bisnis ini.
Baiklah, keberadaan toko-toko ini memang sebuah keniscayaan bisnis. Saya juga nggak radikal dan sok-sokan memboikot toko ini, sebab saya juga berbelanja di situ. Tapi melihat dominasi dan gurita bisnis yang meraksasa, betapa mengerikannya jika pertarungan bebas ini digelar tanpa aturan yang jelas.
Dalam perjalanan dari Jember ke Kencong, saya pernah menghitung ada kurang lebih 28 Alfamart & Indomaret di sekujur jalanan. Jarak Jember-Kencong kurang lebih 40 KM. Berarti nyaris setiap KM ada satu toko waralaba ini. Jika jumlah toko kembar tapi tak sama ini terus bertumbuh bak cendawan di musim hujan, tanpa disertai regulasi yang jelas, maka lambat laun jumlahnya menyamai jumlah masjid di setiap kabupaten: ada di setiap 0,5 KM!
Solusinya bagaimana? Mari kita mengheningkan cipta lalu kita tanya Anggun yang sudah jadi duta syampo lain!